Soppeng, Sidiknews.id — Seruan efisiensi anggaran yang lantang disampaikan Wakil Bupati Soppeng ternyata belum sepenuhnya menyentuh akar kebijakan di lapangan. Slogan penghematan itu kini justru menjadi bahan cibiran, setelah muncul dugaan bahwa dana desa dibebani untuk membiayai sebuah event olahraga seremonial.
Turnamen bulu tangkis yang digelar selama tiga malam oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Soppeng kini jadi bahan perbincangan.
Kegiatan ini, yang diklaim sebagai ajang silaturahmi antardesa, justru menimbulkan polemik karena setiap desa dikabarkan dibebankan untuk menyetor Rp 2.500.000 — dana yang disinyalir diambil dari alokasi anggaran dana desa.
Bagi desa-desa kecil yang sedang berjuang memenuhi kebutuhan warganya dari perbaikan jalan dusun, pengadaan air bersih, hingga bantuan untuk warga miskin angka dua setengah juta bukan sekadar beban administrasi. Itu bisa berarti satu program yang gagal terlaksana. Satu kelompok tani yang tak dapat bantuan. Atau bahkan satu keluarga miskin yang kehilangan harapan.
Alfred, Ketua Lembaga Pemantau Korupsi dan Aparatur Negara (LPKN) Soppeng, menyuarakan kekecewaannya. Ia menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip efisiensi yang dijanjikan pemerintah.
“Apa gunanya Wakil Bupati bicara soal efisiensi anggaran kalau kenyataannya justru lembaga di bawahnya melakukan pemborosan? Kegiatan seperti ini tidak berdampak langsung pada masyarakat. Ini hanya pesta elit yang dibiayai uang rakyat,” kecam Alfred, Kamis (10/7/2025).
Alfred juga meminta agar Inspektorat Daerah segera turun tangan melakukan audit menyeluruh.
“Inspektorat tidak boleh menutup mata. Bila terbukti dana desa dipakai tanpa dasar hukum yang sah, itu adalah pelanggaran. Harus ada pengembalian dana, bahkan proses hukum jika perlu,” tegasnya.
Terdapat juga alasan beberapa kepala desa bersedia mengikuti event ini karena khawatir dianggap tidak loyal atau "tidak kompak" dengan sesama kepala desa jika tidak ikut andil.
“Kami tahu dana desa itu untuk rakyat, bukan untuk lomba seperti ini. Tapi kami tidak punya pilihan,” ujar seorang kepala desa yang enggan disebut namanya, dengan suara lirih.
Fenomena ini menggambarkan betapa rapuhnya sistem akuntabilitas anggaran di tingkat lokal. Dana yang seharusnya menjadi urat nadi pembangunan desa, justru rawan disalurkan ke kegiatan yang bersifat simbolik dan elitis.
Kini, publik menunggu: Apakah pemerintah daerah akan bersikap tegas dan konsisten terhadap prinsip efisiensi? Atau justru membiarkan dana desa menjadi ladang kompromi kepentingan politik dan kekuasaan lokal?
Satu hal yang pasti: ketika rakyat kecil berhemat demi bertahan hidup, mereka pantas mendapat pemerintahan yang melakukan hal serupa — bukan yang berpesta atas nama persatuan semu.


